PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA TENTANG CARA PENCEGAHAN DBD DI RT.02 / RW20PUSKESMAS CIANJUR KOTA

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vector yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae albopictus juga dapat menjadi vector penular. Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. DBD banyak di jumpai di daerah tropis dan sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) (Depkes, 2015).
WHO (2007) menyatakan bahwa insiden demam berdarah dengue (DBD) hampir menyerang penduduk di seluruh dunia dalam abad ke-18 terakhir. Dua per lima penduduk dunia beresiko tertular penyakit demam berdarah dengue (DBD). Saat ini diperkirakan ada sekitar 50 juta manusia yang terinfeksi dengue, di seluruh dunia setiap tahun. Pada tahun 2007 saja ada lebih dari 890.000 kasus penyakit di amerika, dimana 26.000 diantaranya kasus kasus demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini sekarang menjadi penyait endemic di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan negara yang paling serius terkena dampak DBD. Tidak hanya sejumlah kasus yang meningkat, sebagian penyakit meluas ke daerah -daerah baru, disebabkan kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk (WHO, 2007)
Wabah demam berdarah pertama didunia terjadi pada tahun 1780-an serentak terjadi bersamaan di Asia, Afrika dan Amerika Utara. Penyakit ini kemudian dinamakan Dengue fever pada 1779. Di Asia Tenggara wabah besar pertama dimulai pada 1950-an di Filipina. Penyakit ini pertama kali masuk ke Asia tenggara pada tahun 1953 dan terjadi di Manila lalu menyebar ke beberapa negara. Pada tahun 1975 demam berdarah telah menjadi penyakit penyebab kematian utama pada anak-anak di wilayah Asia tenggara (Marshele, 2009).
Menurut riwayatnya, pada tahun 1779, David bylon pernah melaporkan terjadinya letusan demam dengue (dengue fever/ DF) di Batavia. Penyakit ini disebut demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun 1871-1873 di Zanibar kemudian di pantai Arab dan terus menyebar ke Samudra India. Menurut data yang diperoleh bahwa penyakit demam berdarah telah masuk ke Indonesia sekitar 36 tahun yang lalu pertama kali dilaporkan di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Sejak pertama kali DBD ditemukan di Indonesia, penyakit tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah kasus maupun luas wilayah yang terjangkit. Dalam tahun 1997 jumlah kasus yang dilaporkan dari 27 provinsi sebanyak 31.789 orang (angka kesakitan 15,28 per 100.000 penduduk), dari jumlah kasus yang dilaporkan tersebut 705 (CFR 2,2%) diantaranya meninggal. Sampai 13 November 1998 dari 27 provinsi jumlah kasus 65.968 dan kematian 1.275 (CFR = 1,9%) dari 183 Dati II. Sasaran akhir Pelita VI : angka kesakitan kurang dari 30 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematiannya tidak melebihi 2,5%. Jumlah kasus demam berdarah pada tahun 1997 tersebut dilaporkan dari 240 Dati II di 27 provinsi. Secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan angka kesakitan (Incidence Rate = IR) sebesar 35,19 per 100.000 penduduk, artinya setiap 100.000 penduduk ditemukan 35 orang terinfeksi DBD dan angka kematian (CFR) sebesar 2%, artinya dari 35 orang penderita maka 2%-nya atau 1 orang meninggal dunia. Status IR dan CFR semakin menurun pada tahun-tahun berikutnya, namun pada tahun 2003 kembali terjadi lonjakan (Philips, 2008 dalam Marshele, 2009)
Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia (Kemenkes, 2015). Jumlah penderita DBD kabupaten Cianjur yang dilaporkan pada tahun 2014 sebanyak 336 kasus dengan jumlah kematian 3 orang ( Angka Insiden/R = 14,2 per 100.000 penduduk ; Angka Kematian/CFR = 0,9% ). Angka Insiden tertinggi terjadi di wilayah Puskesmas Cianjur, Puskesmas Karang Tengah, dan Puskesmas Nagrak. Jika dilihat per kecamatan, maka DBD paling banyak terjadi diwilayah perkotaan yaitu pertama kecamatan Cianjur menyumbang 18,93% dari total kasus, kemudian kedua kecamatan Karang Tegah yang menyumbang 13,9% dari total kasus dan ketiga yaitu kecamatan Ciranjang yang menyumbang 13,6% dari total kasus. Sedangkan kematian karena DBD terjadi di 3 kecamatan, yaitu kecamatan Cianjur dengan CFR =1,6% kemudian Kecamatan Ciranjang dengan CFR = 2,6%, serta kecamatan Cilaku dengan CFR = 7,1% (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur, 2014). 
Sedangkan pada tahun 2015 jumlah kasus penderita DBD mengalami peningkatan yaitu jumlah kasus 532 dengan jumlah kematian 1 orang angka Incidence Rate per 100.000 penduduk = 22,67. Angka insiden tertinggi terjadi di Puskesmas Cianjur Kota, Puskesmas Nagrak, dan Puskesmas Muka (Bidang P2MPL Dinkes Cianjur, 2015).
Data form penyelididkan epidemologi puskesmas Cianjur Kota (2016) dari awal bulan sampai tanggal 11 maret, 2016 didapatkan 27 kasus DBD dan 82 kasus panas di empat kelurahan wilayah kerja Puskesmas Cianjur Kota. Hasil penyelidikan jentik nyamuk didapatkan 16 jentik nyamuk positif. Dari total kasus tersebut, 9 kasus DBD terjadi di kelurahan Pamoyanan dan 3 kasus diantaranya terjadi di RT 02/ RW 20.
Pemerintah kabupaten Cianjur telah melakukan berbagai upaya pencegahan wabah DBD. Saat ini pencegahan DBD yang paling efektif dan efisien adalah kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara 3M plus, yaitu 1) menguras adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain ; 2) menutup yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air sperti drum, kendi, toren air, dan sebagainya ; 3)memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang mempunyai potensi untuk jadi tempat perkembangan nyamuk penularan DBD. Adapun yang dimaksud dengan plus adalah segala bentuk kegiatan penegahan, seperti 1) menaburkan bubuk larvasida ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan 2) menggunakan obat nyamuk atau antinyamuk 3) menggunakan kelambu saat tidur 4) memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk 5) menanam tanaman pengusir nyamuk 6) mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah 7) menghindari kebiasaan menggantung pakain dalam di rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk dll.  Upaya pemberantasan DBD yang telah dilakukan pemerintah dapat berhasil apabila seluruh keluarga /masyarakat berperan secara aktif dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN)DBD. Masalah penanggulangan penyakit DBD mempunyai banyak hambatan diantaranya partisipasi masyarakat yang masih kurang (Depkes, 2015).
Menurut Anwar (2010), faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat yaitu kurangnya pengetahuan terhadap cara penularan, penyebab dan pencegahan serta penanggulangan penularan penyakit DBD yaitu kurangnya pengetahuan dan sikap yang kurang mendukung terhadap upaya penanggulangan DBD serta kebiasaan keluarga yang masih jarang melakukan pengurasan bak mandi dan membersihkan tempat penamungan air minum sehingga menjadi sarang jentik nyamuk. Maka dari itu masyarakat yang tidak tahu tentang pencegahan DBD yang sesuai dengan ketentuan serta dampak yang akan terjadi bila tidak dilaksanakan, maka salah satu cara untuk meningkatkat pengetahuan masyarakat yaitu dengan cara memberikan pendidikan kesehtan.
Pendidikan kesehatan merupakan proses berdimensi intelektual, psikologis, dan sosial yang berhubungan dengan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam membuat suatu keputusan yang baik mengenai kesejahteraan pribadi, keluarga, serta masyarakat (Susilo, 2011). Pendidikan kesehatan merupakan proses berdimensi intelektual, psikologis, dan sosial yang berhubungan dengan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam membuat suatu keputusan yang baik mengenai kesejahteraan pribadi, keluarga, serta masyarakat (Hartono, 2010). Pemberian pendidikan kesehatan merupakan salah satu peran yang penting bagi perawat diberbagai lahan asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2005)
Pendidikan kesehatan dilakukan sebagai upaya untuk mempengaruhi, dan atau mengajak orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar melaksanakan perilaku hidup sehat (Notoatmojo, 2012). Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012). Kegiatan pendidikan kesehatan diharapkan dapat membantu pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Pendidikan kesehatan pada dasarnya untuk mempertahankan status kesehatan. Pendidikan yang komprehensif memiliki tiga tujuan, yaitu pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, perbaikan kesehatan dan koping terhadap gangguan fungsi (Potter & Perry, 2005).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cahyo (2006) pendidikan yang dimiliki seseorang dan tingkat pengetahuannya mengenai penyakit DBD merupakan faktor yang menghalangi dalam melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit DBD. Tingkat pengetahuan seseorang mengenai penyakit DBD mempengaruhi praktik seseorang dalam pencegahan penyakit DBD serta mempengaruhi keseriusan perhatian yang dirasakannya terhadap penyakit DBD dan akibat-akibatnya (konsekuensi klinis, medis dan sosial).
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan pancaindranya. Menurut Bloom (1908) yang dimaksud dengan pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya baik melalui mata, hidung, telinga, dan sebagainya, dengan sendirinya pada saat pengindraan dapat menghasilkan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan ini dapat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Meskipun manusia memiliki banyak indra pendengaran (telinga) dan indra penglihatan (mata). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena dalam pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada pengetahuan yang tidak didasari pengetahuan (Maulana, 2014).
Menurut Fitriani (2011) Pengetahuan yang tercangkup dalam domain kognitif ada 6 tingkatan yaitu : 1) tahu (know), 2) memahami (comprehension), 3) aplikasi (application), 4) analisis (analysis), 5) sintesis (synthesis), 6) evaluasi (evaluation).
Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 14 maret 2016 melalui wawancara yang dilakukan secara random kepada  10 kepala keluarga yang melakukan pengobatan di Puskesmas Cianjur kota didapatkan hasil bahwa 6 kepala keluarga menyatakan tidak mengetahui penyebab, tanda dan gejala, 1 kepala keluarga menyatakan mengetahui penyebab DBD namun tidak sepenuhnya tahu, dan 3 kepala keluarga menyatakan sering menggunakan obat anti nyamuk untuk pencegahan gigitan nyamuk.
Hasil wawancara tentang praktik pencegahan DBD seperti 3 M (menguras, mengubur barang bekas, menutup tempat penampungan air) keluarga masih jarang melakukan pembersihan tempat penampungan air ataupun bak mandi. Masih adanya persepsi warga yang salah yang menyatakan bahwa menguras bak mandi dapat dilakukan lebih dari satu minggu dengan alasan pemborosan air.
Kesimpulan dari hasil penelitian studi pendahuluan tersebut bahwa klien (kepala keluarga) yang datang ke Puskesmas Cianjur kota 7 dari 10 klien mempunyai masalah pengetahuan di tingat 1 (C1) tentang DBD dan pencegahannya sedangkan tingkatan pengetahuan yang diharapkan dimiliki harus sampai C6 (mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, sistesis, dan mengevaluasi (Notoatmodjo, 2012)   
Hasil penelitian Eros Siti Suryati dkk (2012) Mengungkapkan ada hubungan antara keterpaparan informasi tentang DBD terhadap perilaku pencegahan penyakit DBD baik yang berada di zona hijau maupun di zona merah dan diperoleh nilai p=0.001 dizona hiajau dan 0.048 dizona merah. Demikian juga penelitian Zaeri (2008) yang mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keterpaparan penyuluhan dengan praktek responden dalam PSN/DBD.
Sebagai perawat mempunyai peran sebagai edukator atau pemberi informasi yaitu membantu keluarga/masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan tentang upaya-upaya pencegahan DBD agar keluarga/masyarakat mau dan mampu untuk melakukan pencegahan terhadap penyebaran virus dengue yang dibawa oleh nyamuk aedes aegypty di lingkungan sekitar rumahnya.  Selain sebagai edukator, perawat juga berperan sebagai konsultan, di mana seorang perawat sebagai tempat berkonsultasi terhadap masalah atau tindakan tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan sehingga dengan adanya peran perawat dapat menurunkan angka kejadian DBD (Hidayat, 2004).
Berdasarkan data diatas penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan kepala keluarga tentang cara pencegahan DBD di RT 02 / RW 20 Pamoyanan Puskesmas Cianjur kota”
B.     Rumusan Masalah
          ”Apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan klien tentang cara pencegahan DBD di  tempat  RT 02/ RW 20 Kelurahan Pamoyanan Puskesmas Cianjur Kota”.
C.     Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Membuktikan pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan klien tentang cara pencegahan DBD di RT 02/ RW 20 Kelurahan Pamoyanan Puskesmas Cianjur kota.
2.    Tujuan Khusus
Mengidentifikasi dan mengetahui pengetahuan klien sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan
3.    Manfaat Penelitian
a.    Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi perkembangan ilmu penegetahuan khususnya bagi ilmu keperawatan tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD).
b.    Manfaat Praktisi
1)    Bagi Responden
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan menambah wawasan ilmu khususnya dalam pencegahan Demam Berdarah
2)     Bagi Puskesmas Cianjur Kota
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian DBD
3)    Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu khususnya dalam bidang pendidikan keperawatan
4)    Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).

Post a Comment

0 Comments